Sabtu, 12 Desember 2009

Mereka yang Bijak, Tentu tak Membajak !

“bagi orang Barat, sulit membayangkan sebuah dunia tanpa hak cipta, ....
sedangkan orang-orang yang lahir dan hidup di dalam budaya-budaya non-barat,
tidak akan terlalu sulit membayangkannya !”

-James Boyle, 1996-



Saat teman-teman Dagadu meminta saya untuk urun rembug dalam diskusi terbatas menyongsong 16 tahun Dagadu, saya langsung menyetujuinya. Ini bukan tanpa alasan. Bagi saya ini sangat menarik. Membicarakan Dagadu adalah membicarakan tentang Yogya. Membicarakan Yogya tak lengkap tanpa menyebut Dagadu. Keduanya mungkin inheren satu sama lain. Untuk hal ini kami sepakat. Namun saat membicarakan tentang tema yang akan diangkat, muncul ketidaksepakatan. Terutama dari sudut pandang melihat masalah dalam tema yang akan diangkat. Tema yang diangkat hari ini adalah sebuah tema penting dan inheren dalam sejarah panjang peradaban kreatifitas manusia. Temanya tentang pembajakan (piracy) !

Mengingat sejarah panjang pembajakan itu sendiri, kita tentu bisa tidak sepakat dalam beragam hal. Umpamanya, tentang implikasi bajak membajak dari beberapa sudut kepentingan. Dari sudut pandang industri, ini sangat merugikan dan berbahaya. Mengancam semangat kreativitas manusia. Tidak berpihak pada orang-orang kreatif yang meneteskan keringatnya demi sebuah karya. Namun dari sisi sosial kemasyarakatan, yang terjadi sangat bertolak belakang. Pembajakan telah ‘menghidupi’ beribu-ribu manusia dengan tingkat sosial ekonomi berbeda-beda. Dari sisi budaya, dicurigai bahwa spirit bajak-membajak memang berasal dari kebiasaan menirukan yang telah terdidik dan ditanamkan sejak masa kanak-kanak. Ini begitu ironis. Di satu sisi aktivitas ini dianggap hina dan tidak pantas dilakukan, sementara di sisi lain aktivitas ini menjadi ‘dewa penolong’ kehidupan alias menghidupi banyak orang. Sebagai seseorang yang belajar ilmu sosial, saya diminta berbicara tentang pembajakan dari perspektif sosial. Dari situ pertanyaan bodoh saya muncul. “sudut pandang sosial seperti apa ?”

Saya tidak berani mengklaim diri mampu menjelaskan secara komprehensif tentang aspek sosial ini. Tulisan berikut ini hanya bermaksud memaparkan tentang relasi signifikan antara kuatnya budaya konsumtif dengan tersedianya ‘lahan subur’ bagi praktek bajak membajak, lalu akan menghubungkannya dengan kenyataan ironis ‘sakitnya’ masyarakat kita. Asumsi dasar yang dipegang adalah bahwa geliat kapitalisme yang identik dengan tumpah ruahnya produk dan merek di pasaran, telah menjadi “buah simalakama” bagi dirinya sendiri. Buah itu adalah terfasilitasinya hasrat mengidentifikasi diri dengan citra merek tertentu sebagai realitas imajinatif, dengan kenyataan terbatasnya sumber daya finansial (daya beli) sebagai sebuah realitas empirik.

Budaya Konsumtif : Dari mana Semua Bermula
Upaya untuk menjelaskan konsep consumer culture dikemukakan oleh Mike Featherstone (2001) dengan memberikan tiga perspektif utamanya tentang consumer culture tersebut. Menurutnya tiga perspektik itu adalah pertama, pandangan bahwa budaya konsumen dipremiskan dengan ekspansi produksi komoditas kapitalis yang memunculkan akumulasi besar-besaran budaya dalam bentuk barang-barang konsumen dan tempat-tempat belanja dan konsumsi. Perspektif kedua berkaitan dengan pandangan bahwa kepuasan yang berasal dari benda-benda behubungan dengan akses benda-benda itu yang terstruktur secara sosial. Titik perhatiannya di sini adalah pada cara-cara yang berbeda dari orang-orang yang menggunakan benda-benda dalam rangka menciptakan ikatan atau pembedaan masyarakat. Ketiga, adalah masalah kesenangan emosional untuk konsumsi, mimpi-mimpi dan keinginan yang dimunculkan dalam bentuk artefak budaya konsumen dan tempat-tempat konsumen tertentu yang secara beragam memunculkan kenikmatan jasmaniah langsung serta kesenangan estetis.

Ketiga perspektif yang digunakan Featherstone di atas menunjukkan bahwa ada kaitan yang erat antara budaya konsumen dengan prinsip-prinsip kapitalisme dalam industri. Perjalanan industrialisasi dari menghasilkan produk-produk terbatas pada Gilda-Gilda di Inggris sampai pada munculnya pabrik-pabrik raksasa di seluruh dunia ternyata juga menghasilkan evolusi konsep berkaitan dengan cara menjualnya. Pada masa sebelum revolusi industri, produsen tidak terlalu memikirkan tentang strategi menawarkan produk mereka pada konsumen, apa saja yang dibuat pasti dibeli. Bahkan kadangkala konsumen harus menunggu pesanan barangnya. Produsen berkuasa. Hal ini tidak lagi terjadi saat revolusi industri melakukan terobosan dengan produksi massalnya. Konsumen (pembeli) sangat dimanjakan oleh hadirnya beragam produk hasil kerja pabrik. Mereka memiliki kekuasaan untuk memilih. Suatu perobahan besar terjadi pada diri konsumen di saat mereka menyadari bahwa pasar tidak lagi bisa dipasok terus menerus dengan berharap habisnya produk. Konsumen semakin pintar, dengan daya beli yang fluktuatif. Tak ada pilihan lain bagi setiap produsen selain menempuh strategi jitu dalam upaya menjual produknya. Disinilah kemudian peranan keahlian pemasaran menjadi substansial. Dalam kaitannya dengan revolusi antara revolusi industri di Inggris itu dengan budaya konsumtif, Peter Corrigan (1997) memberikan tiga sudut analisis yaitu konsumsi dilihat dari aspek politik (consumtion springs from politics), konsumsi dilihat dari aspek ekonomi (consumption from economics), dan konsumsi dilihat dari aspek kehendak atau kesenangan hati (consumption from heart). Masing-masing penjelasan Corrigan sangat terkait dengan kondisi dan situasi di Inggris ketika revolusi industri menunjukkan kekuatannya.

Pemaparan dari aspek Sejarah yang dilakukan Corrigan mampu menjelaskan mengapa terjadi budaya konsumtif yang mengalami lompatan yang berbeda saat ini. Pola konsumsi modern yang bersifat mass consumption telah menjadi penanda betapa kuatnya mesin-mesin kapitalisme bekerja. Dalam upaya mendukung mass consumption ini maka segala strategi konstruksi pemaknaan diciptakan. Tak ada tempat untuk lari dari kekuatan pasar global yang terus menerus merekayasa citra yang akhirnya bermuara pada terbelinya produk mereka. Salah seorang tokoh postmodern yang kerapkali mengingatkan akan hal ini adalah Jean Baudrillard.

Dalam salah satu bukunya La Societe de Consommation : Ses Mythes, ses Structures yang diterjemahkan dalam versi Inggris menjadi The Consumer Society, Baudrillard mengatakan bahwa seluruh wacana tentang konsumsi, baik yang dipelajari ataupun yang dihasilkan, terartikulasi pada rangkaian mitologis dari fabel : seorang manusia. Seorang manusia yang “diberkati” dengan kebutuhan-kebutuhan yang “mengarahkannya” menuju objek-objek yang memberinya kepuasan (Baudrillard, 2001). Ada mitos yang tercipta berkaitan dengan diabaikannya sifat alami masyarakat konsumen. Yang terjadi adalah para pabrikan (produsen) mengendalikan perilaku, mengarahkan dan membentuk perilaku dan kebutuhan sosial. Dengan sangat garang Baudrillard menyebut fenomena itu sebagai kediktatoran total oleh sektor produksi.

Dalam melihat relasi antara manusia dengan benda dalam konteks konsumsi, Baudrillard (2001) melihat bahwa yang muncul disana adalah nilai status hirarkhis dalam suatu sistem pertukaran simbolik. Menurutnya, nilai simbolik itu merupakan suatu insitusi sosial yang menentukan perilaku bahkan sebelum dipertimbangkan dalam kesadaran para pelaku sosial. Dalam suatu sistem pertukaran simbol-simbol, konsumsi lebih dimaknai sebagai penentu atas status sosial seseroang. Cara bekerjanya adalah melalui objek-objek, setiap pribadi dan kelompok mencari tempatnya dalam suatu aturan untuk sejenak kemudian mencoba menekankan aturan ini menurut lintasan pribadi. Dalam kondisi demikian, demikian Baudrillard, sama sekali tidak adan gunanya memperkirakan kehadiran suatu “objek empirik” (wujud fisik kebendaan) karena objek itu hanya memiliki arti sebagai suatu penanda relasi semata. Artinya pilihan untuk menggunakan handphone merek Nokia seri terbaru (tentu dengan harga lebih mahal) bukan hanya membeli alat komunikasi yang mobil semata, namun lebih karena membeli simbol yang disandang oleh merek tersebut sebagai penanda kemewahan, keberhasilan, gaul, bahkan menunjukkan status ekonomi seseorang. Hal yang sama berlaku bagi mobil mercedez, rumah dikawasan elit, dan bahkan minuman beralkohol merek tertentu. Bagi Baudrillard, setiap benda yang telah ditempatkan dalam konteks hubungan sosial manusia, maka ia akan memiliki fungsi dan nilai tertentu yang membuat dia berharga.

Pergeseran pola konsumsi masyarakat yang linear berdasarkan empat objek logika (nilai guna, nilai tukar, nilai simbol, dan nilai tanda) menunjukkan bagaimana lingkungan ‘melimpah ruahnya’ produk dan merek dihasilkan oleh industri pabrik. Keberlimpahan ini membawa konsekuensi logis terbuka lebarnya pilihan pada diri konsumen untuk memilih dan menggunakan produk dan merek manapun yang dia suka. Produk dan merek manapun yang dia mampu untuk beli, tentu yang sesuai dengan ‘isi kantong’ dia. Dari situ terciptalah habitat dan ruang hidup budaya bajak membajak.

Fasilitasi Realitas Imajinatif : Energi Pembajakan
Saat memulai bagian ini, ingatan saya terbang pada beberapa ciri khas manusia Indonesia yang diutarakan oleh Mochtar Lubis lebih dari tiga puluh tahun yang lalu. Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977 waktu itu, Mochtar Lubis (ML) menyebut tidak kurang dari enam ciri manusia Indonesia. Keenam ciri itu adalah : (1). Hipokrit alias munafik, (2). Enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, (3). Berjiwa feodal, (4). Masih percaya takhyul, (5). Berwatak lemah, tak mampu memperjuangkan keyakinan, (6). Artistik. Kelima ciri utama yang disebutkan pertama nampaknya bermakna negatif. Semua tentang yang jelek-jelek. Namun tidak demikian halnya dengan ciri keenam. Hanya ciri keenam yang diakui oleh ML memiliki makna sangat positif. Apa kata dia ?

“Karena sikapnya yang memasang roh, sukma, jiwa, tuah, dan kekuasaan pada segala benda alam di sekelilingnya, maka manusia Indonesia dekat pada alam. Dia hidup lebih banyak dengan naluri, dengan perasaannya, dengan perasaan-perasaan sensualnya, dan semua ini mengembangkan daya artistik yang besar dalam dirinya yang dituangkan dalam segala rupa ciptaan artistik dan kerajinan yang sangat indah-indah, dan serbaneka macamnya, variasinya, warna-warninya.”
(Lubis, 2001:33)

Inilah satu-satunya sifat yang begitu dibanggakan ML dalam ceramahnya. Dan nampaknya kita bisa melihat bukti dari kebanggaan itu. Seluruh karya kreatif kita terbukti melesat dalam dua dekade terakhir. Lagu, seni lukis, tari, pahat, dan beragam karya cipta lainnya bahkan telah membuat iri dan klaim tak bersahabat dari negara sahabat. Ini fakta. Kita patut berbangga. Namun dari sifat dan ciri inilah nampaknya lingkaran perkara bajak membajak karya artistik bermula. Mengapa ? Saking inginnya berartistik ria, membajak pun tak apa. Dan ini nampaknya bukan cuma di Indonesia, melainkan juga di Asia sebagai kawasan dengan status pembajak terbesar di dunia.

Pembajakan memang marak di negara berkembang, dengan porsi yang terbesar ada di Asia (Callan, 1998). Upaya penangkal dari pemerintah setempat telah dilakukan dengan memberlakukan peraturan yang melindungi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan kesungguhan memberikan sangsi kepada pelaku pelanggaran HKI. Namun pemberlakuan hukum yang berkaitan dengan HKI tidak standar satu dengan lainnya, sehingga pemberlakuan penegakan hukum juga berbeda-beda. Misalnya China, Singapura, dan Indonesia telah memberlakukan UU HKI dengan sangsi yang keras, tetapi aktifitas pembajakan nampaknya tidak pernah surut. Semua tidak bisa diselesaikan hanya dengan jalur hukum. Seperti ditegaskan oleh Hidayat & Mizerski (2005), bahwa penegakan hukum hanya merupakan salah satu faktor saja. Masih banyak faktor lain. Masalah ini harus ditilik dari sektor sosial, budaya, dan ekonomi.

Diakui dan dikecam oleh ML, bahwa ciri artistik pada manusia Indonesia apabila dia bergandengan dengan keengganan atau tidak perduli dengan tanggung jawab akan mendatangkan masalah mendasar. Tindak mencorat-coret dinding dan sudut kota dengan tulisan tak jelas sekaligus menjelaskan ciri artistik sekaligus tidak bertanggung jawab. Perlu diperhitungkan pula bahwa kebanyakan masyarakat bisnis Asia memiliki jiwa kewiraswastaan secara alamiah dan tidak ada kendala moral yang menahan penggunaan atribut orang lain untuk digunakan kepentingan sendiri. Kenyataan ini nampaknya juga didukung oleh budaya Asia yang mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan individual (Boyle, 1996). HKI dianggap sebagai kental dengan pengaruh budaya barat karena membela kepentingan individual di atas kepentingan bersama.

Wilkie & Zaichkowsky (dalam Hidayat & Mizerski, 2005) mengatakan bahwa budaya mengkopi atau meniru merupakan budaya yang sudah lama di Asia dan dapat dilihat dari sejarah dan sistem nilainya yang direflesikan ke dalam sistem hukumnya. Metode tradisional pendidikannya juga mengajarkan bagimana mengkopi sesuatu, meniru sesuatu yang dianggap bagus mIsalnya menulis halus, meniru huruf kanji yang artistik. Budaya Asia juga sangat mengutamakan keluarga dan setiap anggota keluarga saling membantu untuk kepentingan keutuhan bersama. Negara tidak memberikan manfaat secara langsung terhadap kebutuhan keluarga sehingga tidak menjadi prioritas perhatian. Itulah sebabnya barangkali tidak adanya hukum yang efektif untuk mencegah pengambilan keuntungan oleh wiraswastawan alamiah Asia dari perusahaan-perusahaan besar pemegang HKI, apalagi yang berasal dari luar Asia. Bangsa Asia yang terkenal dengan kepercayaan spiritualitasnya yang kuat, lebih bersandar pada prinsip religius yang memandang bahwa konsep meniru bukan sesuatu tindakan yang memalukan atau tindakan yang rendah.

Semua faktor sosial, budaya dan ekonomi ini secara holistik berkelindan sedemikian rupa dalam masyarakat dan pelaku industri bajakan. Pada situasi masyarakatnya yang telah terjangkiti oleh budaya konsumtif akut, sementara kemampuan daya beli begitu lemah, produk dan merek bajakan merupakan solusi instan. Inilah saat mana seluruh pelaku karya seni dan artistik mendapatkan masalah serius (Smiers, 2009). Inilah saat mana masyarakat telah dikatakan sebagai masyarakat yang tidak sehat (Fromm, 1968). Hukum mau tidak mau akan diajak untuk melihat realitas sosial yang berdimensi kompleks (Hasibuan, 2008; Rahardjo, 2009). Seluruh analisis sosial dan hukum ini tentu bukan bermaksud untuk memberikan persetujuan tidak langsung atas perilaku pembajakan. Analisis ini lebih sebagai upaya ontologis dan epistemologis atas sebuah gejala industri dan masyarakat kapitalis yang nampaknya sudah demikian kuat merambah dibelahan dunia manapun juga. Akhirnya mungkin terlalu naif untuk berkata ‘orang bijak, tentu tak membajak’ ... dalam hal ini Anda tentu boleh untuk tidak sepakat. Diskusi mungkin bisa membawa kita pada ragam perspektif yang lebih ‘kaya’.


Tepi Kali, Desember 09

REFERENSI

Baudrillard, Jean, (1998). The Consumer Society : Myths and Structures, London : Sage Publications.
_______________ , (2001). Galaksi Simulacra : Esai-Esai Jean Baudrillard, Editor M. Imam Aziz, Yogyakarta : LkiS.
Boyle, James., (1996). Shaman, Software, and Spleens : Law and the Construction of the Information Society, Cambridge/ London : Harvard University Press.
Callan, B. (1998), ‘The Potential for Translantic Cooperation on Intellectual Property in Asia, Working Paper, The Barkeley Roundtable on the International Economy, available :
http://www.ciaonet.org/wps/cab02/cab02.html

Casavera, (2009). 15 Kasus Sengketa Merek di Indonesia, Yogyakarta : Graha Ilmu.
Corrigan, Peter, (1997). The Sociology of Consumption : an Introduction, London : Sage Publication.
Fromm, Erich., (1968). The Sane Society, London : Routledge & Kegan Paul. Ltd.
Hasibuan, Otto., (2008). Hak Cipta di Indonesia : Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society, Bandung : PT Alumni.
Hidayat, Anas, & Katherine Mizerski, “Pembajakan Produk : Problema, Strategi, dan Antisipasi Strategi” dalam Jurnal Siasat Bisnis, No. 10 Vol 1, Juni 2005.
Korten, David C., (2002). The Post-Corporate World : Kehidupan Setelah Kapitalisme, Penerjemah A. Rahman Zainuddin, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Lubis, Mochtar, (2001). Manusia Indonesia : Sebuah Pertanggungjawaban, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Rahardjo, Satjipto., (2009). Hukum dan Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan Teoretis Serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing.
Smiers, Joost, (2009). Art Under Pressure : Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi, Penerjemah Umi Aryati, Yogyakarta : Insistpress.

1 komentar:

Astrid Damayanti mengatakan...

lah kok pas nih Mas, buat referensi tugas akhir mata kuliah (UAS) Kebudayaan & Masyarakat Informasi yg mau saya tulis hehehe...ttg kreatifitas masy. (culture), br sempat lg baca posting terbaru lah koq pas... beberapa referensi uda ada tapi kayanya menarik juga kalo ditengok dari 2 sisi yg berlawanan...balancing gituuu..hehehe...so nama & blog-nya akan memeriahkan sbg referensi di tulisan saya... maturnuwun2..hehehe...saya tunggu tulisan2 selanjutnya...hehehe...