Minggu, 06 Desember 2009

Repetitions : The Destiny of History

Ada satu prinsip utama dalam melihat sejarah. Yakni melihatnya sebagai sebuah perulangan kejadian. Lewat perulangan itulah kita terus ‘membaca’ makna. Makna yang terwariskan. Sejarah nabi-nabi selalu identik dengan pengorbanan. Sejarah imperium selalu identik dengan penguasaan dan penaklukan. Sejarah poligami selalu identik dengan ketidakadilan. Sejarah perselingkuhan selalu identik dengan kekecewaan (untuk yang ini, anda boleh tak sepakat ! he he he). Apapun itu, sejarah adalah sebuah kejadian yang tercatat dan diberi makna karena keberulangannya. Masalahnya adalah siapa yang berwenang untuk mencatat dan memberikan makna atas kejadian yang disebut sejarah itu ?

Pertanyaan itu tadi terbersit ketika saya membaca buku tentang strukturalisme dari Claude Levi-Strauss (Ras & Sejarah, 2000), terutama pada bagian wawancara dia dengan Spiegel, seorang wartawan dari media cetak terkemuka di Prancis. wawancara itu memperlihatkan posisi seorang strukturalis sejati seperti Strauss yang sangat konsisten berpijak pada paham dan pendapatnya. Meskipun mendapatkan pertanyaan kritis dari Spiegel, dia tetap memperlihatkan kelurusan pemikiran sejak dimulai hingga berakhirnya wawancara. Percakapan menarik adalah tentang sejarah. Apa yang didapatkan manusia dari sejarah adalah rangkaian pengulangan yang konsisten. Tak ada sesuatu yang sesungguhnya baru alias original. Semua pengulangan semata. Paparan Strauss berintikan prinsip tersebut. Salah satu bagian yang sangat menarik perhatian saya dalam wawancara itu adalah ketika Spiegel mempertanyakan tentang landasan pemikiran Strauss tentang dikotomi masyarakat modern dan primitif. Sekalipun pada dasarnya telah tercipta oposisi biner tentang dua konsep tersebut, namun pertanyaan spiegel lebih mengacu pada citra yang melekat pada dua kondisi masyarakat tersebut. Bahkan melalui pemikiran para orientalis, Spiegel memperlihatkan betapa Strauss sangat mengagungkan konteks masyarakat primitif dengan semangat humanisasi dan harmonisasai mereka. Inti pemikiran Straus adalah bahwa kenyataan menunjukan kaum primitif yang pencitraannya dibuat oleh pada pemikir modern itu sendiri telah memiliki nilai-nilai kehidupan yang sejajar bahkan lebih sempurna bila dikomfarasikan dengan fenomena modern.

Keyakinan yang sangat kuat pada diri strauss ini muncul dalam buku dia tentang sejarah ras manusia. Buku itu dimulai dengan cerita sekelompok peneliti (yang katanya modern !) dari Spanyol yang ingin meneliti masyarakat terasing di Antilla Raya. Fokus penelitian mereka adalah ingin mengetahui seluk beluk cara hidup dan kepercayaan mistis dari kelompok masyarakat terkebelakang itu. Cerita narsisnya, para peneliti ini ragu apakah penduduk pribumi di situ memiliki nyawa atau tidak. Namun yang terjadi selanjutnya adalah tertangkapnya kelompok peneliti tersebut oleh suku primitif. Mereka semua dibunuh, mayatnya dibalsem dan ditunggui. Apa yang tergambar dalam pikiran para primitif itu ? tidak lain bahwa mereka ingin mengetahui apakah para peneliti itu mayatnya membusuk atau tidak, atau bisakah orang berkulit putih itu bisa hidup kembali setelah mereka bunuh ? Falsafah cerita itu adalah ternyata kekerasan dan penaklukan itu terus berlangsung sepanjang zaman dengan orang dan konteks yang berbeda-beda. Kekerasan juga ada di masa lalu, kekejaman juga ada dimasa lalu. Penaklukan sudah menjadi menu wajib sejak zaman dahulu. Jadi sebenarnya tidak ada yang asing dengan konsep-konsep tersebut. Yang menjadi masalah adalah makna negatif yang melekat pada konsep itu. Dengan alasan apapun tampaknya kita memiliki konotasi negatif atas apa yang bernama kekerasan, pembunuhan, balas dendam.

Penilaian itu terlepas dari kemungkinan dua sudut pandang yang berbeda atas konsep-konsep tersebut. Kepahlawanan Alexander Agung bermakna positif dan penuh heroik oleh pengagum sejarah kebesaran Romawi, terlepas berapa ribu nyawa yang telah direnggut oleh politik ekspansi Alexander Agung. Namun dari sudut pandang pihak yang dijajah Romawi, nama Alexander Agung identik dangan keserakahan, pembunuh berdarah dingin, bahkan penjahat perang ! Coba saja kita tanyakan bagaimana gambaran seorang Hitler dimata para pendukung neo Nazi. Pasti jawaban yang muncul adalah : Hitler seorang pahlawan, pengubah sejarah dunia, orang yang membela kehormatan ras Arya, dan sederetan citra positif dan membanggakan lainnya. Namun bila kita bertanya pada seorang dari turunan Yahudi, maka jawaban yang muncul tidak akan jauh-jauh dari gambaran seorang penjahat perang peringkat pertama, sadis, gila kekuasaan, atau (mungkin !) propagandis ulung yang pintar memutar balik fakta. Inilah realitas simbolis yang selalu muncul menyertai perjalanan sejarah.

Lalu apa hubungannya antara Strauss, Hitler, dan Alexander Agung itu ? sekalipun mereka tidak pernah berjabatan tangan berkenalan satu sama lain, namun Strauss kenal betul tentang cerita dua manusia terakhir. Pemahaman Strauss tentang dua orang itu paralel dengan pamahaman dia bahwa segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan, peperangan, ekspansi wilayah kekuasaan, dan semua akibat yang ditimbulkan konsep-konsep tersebut akan selalu berulang sepanjang hidup manusia. “Sejarah selalu berulang,” itu pesan Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man (1992). Jadi sebuah pertanyaan di akhir tulisan singkat ini : kapan manusia pernah belajar dari apa yang disebutnya sejarah ? Nampak sudah menjadi takdir bagi sejarah untuk terus diulang dan diulang. Tanpa manusia mau mengambil dan mempelajari apa yang telah terjadi. Terus aja mengulang-ulang kesalahan. Dan dengan kesalahan itulah peradaban kita tegakkan. Satu hal yang mungkin harus diingatkan : kita memang tidak bergerak kemana-mana. Manusia memang di situ-situ saja.


Tepi Kali, Desember 09

Tidak ada komentar: